Hello World,
Selamat Natal buat yang merayakan Hari Natal pada 25 Desember kemarin, tulisan saya kali ini ada hubungan nya dengan Natal yaitu saya ingin mengulas tentang salah satu museum di Istanbul yang saat ini menjadi masjid kembali, museum ini bernama Kariye Museum dalam Bahasa Turki atau Chora Museum dalam Bahasa Inggris, dan menurut saya Museum Biara Chora adalah kata yang tepat untuk padanan dalam Bahasa Indonesia. Museum ini terkenal dengan mosaik dan fresco era Byantium yang sangat indah sekali Mosaik yang sangat indah mengambarkan artistik dan seni yang luar biasa bagi para pemahat Byzantium pada masa itu.
Sejarah Ringkas
Biara Chora, arti Chora adalah “di luar kota” karena pada awalnya dibangun tepat di luar tembok kota Konstantinopel namun nama Chora tetap digunakan bahkan setelah tembok tersebut diperluas oleh Theodosius II pada abad ke 5. Ya bangunan ini sudah ada sejak abad ke 5 bersamaan dengan Hagia Sophia. Sejarah awal Chora bisa dikatakan belum jelas, karena banyaknya kontradiksi dalam sumber-sumbernya. Menurut salah satu sumber, pendiri nya adalah St. Babylas yang kala itu berada di Turki pada awal abad ke-4. Sumber lain lain mengaitkan pendiriannya dengan St. Theodore, yang konon merupakan paman Theodora, istri Kaisar Justinian I. Namun pada abad ke 7, bagian biara didirikan oleh Jenderal Krispus, menantu Kaisar Phocas. Ada beberapa orang-orang kudus atau orang suci yang dimakamkan di sini, pada abad ke -8 dan ke -9.
Namun bangunan yang ada saat ini merupakan peninggalan di abad ke 14, bangunan awal telah hancur akibat gempa dan ada juga karena perperangan dan konflik yang terjadi di Konstantinopel. Pada era penaklukan Istanbul oleh Ottoman biara ini diubah menjadi masjid. Sebuah mihrab ditambahkan di pintu utama, menara lonceng bergantung dihapus. Nama Biara Chora diubah menjadi Kariye. Karena larangan gambar ikonik dalam Islam, semua prasasti, simbol Kristen, lukisan dinding, dan mosaik ditutupi dengan lapisan tipis cat dan kapur. Kemudian baru tahun 1948, Thomas Whittemore dan Paul A. Underwood dari Byzantine Institute of America dan Dumbarton Oaks Center for Byzantine Studies, melakukan kampanye program restorasi untuk membersihkan, memulihkan dan melestarikan lukisan dinding di Chora yang telah diplester dan dilabur berulang kali untuk disembunyikan, sehingga semua gambaran representasi ketika gereja era Bizantium digunakan sebagai masjid selama periode Ottoman. Pekerjaan itu berlangsung selama dua belas tahun yang berlangsung sepanjang tahun 1950-an. Pada tahun 1958, sesuai dengan dekrit presiden Biara Chora dibuka untuk umum sebagai museum – Kariye Müzesi. Dan tahun 2020 atau tepat satu bulan setelah Hagia Sophia menjadi masjid Presiden Turki Erdogan juga memutuskan bangunan ini untuk kembali menjadi masjid, sehingga saya pakai sebagai judul artikel ini yaitu Mesjid Mosaik.
Bagaimana Cara Ke Museum Chora
Museum Chora bukanlah atraksi yang mudah untuk dikunjungi. Tidak seperti Hagia Sophia, Blue Mosque, atau Basilica Cistern yang semuanya berdekatan dan bisa ditempuh dengan hanya jalan kaki di Sultanahmet Square. Berlokasi di lingkungan yang lebih mirip perumahan yaitu di Edirnekapi. Anda harus sampai ke sana dengan beberapa kali naik trem atau dengan taksi. Tapi saya mengunakan bus nomor 36K yang tujuan akhirnya adalah di stasiun Edirnekapi. Tidak ada banyak hal disekitarnya. Tidak ada toko, restoran, hotel, atau tempat penukaran mata uang yang biasanya ditemui di Sultanahmet. Jika Anda melakukan perjalanan ke tempat ini, ya anda pasti hanya bisa ke Museum Chora saja.
Apa yang bisa Dilihat
Meskipun terpencil, museum kecil yang ukurannya hanya sebagian kecil dari Hagia Sophia yang lebih terkenal itu. Namun museum ini adalah situs bersejarah favorit saya di Istanbul. Mosaik dan lukisan dinding yang menghiasi dinding dan langit-langitnya benar-benar menakjubkan. Bahkan jauh lebih bagus dibandingkan dengan yang ada di Hagia Sophia menurut hemat saya.
Karena pada saat saya berkunjung adalah di tahun 2018 tepatnya bulan Maret jadi ini sudah 2 tahun 9 bulan yang lalu, untuk biaya masuknya juga lumayan yaitu 20 TL, museum buka setiap hari kecuali hari Rabu. Namun di tahun 2018, museum ini mengalami restorasi jadi bentuk luarnya ditutupi dengan kain besar. Dan kita hanya bisa mengunjungi 2 ruangan yaitu Narthex dan Parekklesion.
Narthex
Pada pintu utama kita akan menemui pintu yang menampilkan mosaik bertajuk Christ Pantocrator. Saya tidak tahu apa artinya, jadi saya coba riset apa artinya. “Pantocrator”, ternyata, mengacu pada penggambaran spesifik tentang Kristus sebagai jiwa yang selalu hidup (tapi mhn maaf jika saya salah). Sedangkan lobby sekitaran pintu utama disebut sebagai Narthex, jadi di sekitaran Narthex ini ada berbagai lukisan dengan cerita cerita yang berbeda.
Namun kurang lebih ada ratusan lukisan dan ratusan cerita di dinding yang menggambarkan kehidupan Kristus dan The Virgin Mary di Narthex, menggunakan elemen latar belakang dan motif arsitektural untuk memberi kedalaman, yang berpuncak dengan ketajaman warna. Adegan demi adegan terkesan sangat nyata dengan figur-figur yang proporsional dengan tepat, dan wajah Kristus terlihat sangat kemanusiaan. Di antara adegan-adegan yang diwakili, bagian-bagian Alkitab yang berbeda ditampilkan: seperti masa bayi Kristus, mukjizat, malaikat dan Iblis
Parekklesion
Sekarang menuju ke salah satu bagian favorit saya di Museum Chora yaitu Parekklesion yang berasal dari Bahasa Yunani yang artinya kapel, berbentuk persegi panjang dan lorong tunggal, pada kapel banyak sekali lukisan jenis fresco, representasi dan potret suci beberapa Saint yang berperan dalam penyebaran agama dan disini juga ada empat makam melengkung atau Arcosolia, kubah ditempatkan di setiap sisi teluk tengah, dua di dinding selatan dan dua di dinding utara. Parekklesion ini dirancang sebagai tempat berlindung untuk makam tetapi juga digunakan untuk melakukan ritual yang berkaitan dengan kematian dan penguburan.
Parekklesion di Biara Chora didekorasi dengan lukisan dinding dengan tema utama kekuatan penebusan Kristus dan The Virgin yang menjanjikan keselamatan bagi umat beriman. Dengan Anastasis Kristus digambarkan sebagai pemenang atas Kematian dengan kebangkitan Adam dan Hawa dan diperpanjang di setiap sisi menutupi lengkungan yang mengambarkan mukjizat kebangkitan Yesus membangkitkan orang mati. Tema keselamatan adalah komposisi The Last Judgement di mana Kristus duduk dalam penghakiman, kemenangan atas maut dan menebus orang benar.
Yang menarik adalah di Parekklesion ini dindingnya menampung sejumlah besar potret sosok penuh para para orang suci yang terlukis setengah melingkar, orang-orang suci ini diakui oleh Byzantium sebagai perantara untuk mencapai Tuhan. Penggambaran para orang suci ini dimulai dari tembok selatan ke barat hingga timur laut.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk mengelilingi museum ini, saya saja mengelilingi nya pas satu jam namun sayangnya di tempat ini tidak ada semacam guide atau tour yang bisa membimbing kita mengenali masing masing mosaic dan fresco. Adapun untuk selebaran berisi informasi tentang nama fresco bisa diperoleh tapi harus bayar lagi dengan uang kurang lebih 20TL, yang sangat disayangkan dimana harusnya selebaran seperti ini sebaiknya gratis. Namun sebuah pengalaman yang tidak terlupakan untuk melihat dengan sangat jelas dinding dinding lukisan peninggalan Byzantium ini. Kalau boleh sedikit membandingkan, jika anda datang ke St. Mark Basilica di Venesia ada kurang lebih beberapa lukisan yang menyerupai terpajang di sana, dimana ada kaitan bagian paling khas dari Gereja Chora adalah lukisan dinding dan mozaik yang menakjubkan, sebuah contoh luar biasa dari simbologi Ortodoks Kristen dan pelopor gerakan seni baru di Kekaisaran Bizantium Akhir, yang paralel dengan gerakan Renaisans Giotto di Italia sehingga kita juga bisa melihat karya yang mirip di St. Mark Basilica.
Demikian perjalanan yang bertema Natal walaupun saat ke sana saya tidak di bulan Desember tapi sangat senang sekali bisa menulis kisahnya di bulan Desember terutama di momen Natal dan terima kasih sudah membaca artikel ini.
Happy Holiday
Ferdi Cullen