Perjalanan saya pertama kali ke China pada bulan Juli 2016 lalu merupakan perjalanan yang sangat mengesankan. Saya melakukan perjalanan yang no mainstream dimana biasanya banyak orang yang melakukan perjalanan ke negara tirai bambu ini melalui Beijing tapi saya coba ke sebuah kota yang lumayan besar dan metropolis namun masih menyisakaan kesan kuno dan oriental nya yaitu Xi’an. Penerbangan ke Xi’an saya tempuh melalui Kualalumpur dengan penerbangan Low cost tentunya yaitu Air Asia saya pun menempuh perjalanan selama kurang lebih 4 jam ke Xi’an.
Pengalaman di pesawat cukup menegangkan menurut saya, karena memang orang China it’s very unpredictable person. Saya cukup kaget ketika mereka dengan santai seperti tidak menggunakan sabuk pengaman ketika take off maupun landing, bahkan saya sudah memberitahu mereka dan mereka malah tidak mengerti bahasa inggris, saya sudah infokan ke flight attendant dan ketika sang flight attendant juga coba menegur penumpang dengan menggunakan bahasa mandarin eh mereka cuek juga dengan hal tersebut. Kok jadi malah saya yang deg-deg an ya pada saat take off dan landing, untungnya tidak ada terjadi apa pun jua aman dan selamat sampai di bandara.
Xianyang International Airport, kesannya di airport ini sih memang airport yang biasa saja, hampir mirip lah dengan bandara-bandara yang ada di Indonesia. Saya tiba waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam wah saya sempat mau nginap di bandara loh tapi karena pegal-pegal jadi saya urungkan saja niat menginap tersebut lagipula saya memang sudah pesen hotel untuk beberapa hari ke depan di kota Xi’an. Awalnya saya ingin naik bus setelah tanya sana-sini ternyata bus yang ada maksimal sampai dengan pukul 00.30 dan jam saya sudah menunjukan jam demikian dan loket bus ternyata sudah full, alhasil transportasi satu-satunya adalah taksi saya mengunakan taksi bandara dan alhamdulllah biaya nya gak terlalu mahal sih ke hotel hanya 50 yuan, namun ada cerita menarik antara saya dengan si driver taksi yang tidak bisa mengunakan bahasa inggris ini, dia mengunakan aplikasi penerjemah jadi saya tulis saja di aplikasi penerjemah tersebut yang dia sodorkan ke saya tujuan saya.
Rupanya hotel saya agak nyungsep masuk ke dalam sebuah gang dan berdekatan dengan sebuah stasiun line metro yang ada di kota ini bernama Beidajie Station, nama hotel saya adalah Xi’an Toyoo Hotel murah sih single room aja seharga 120 yuan yang kala itu sekitar 250 ribu rupiah namun saya gak terlalu rekomendasikan hotel ini karena staff nya yang sangat sedikit sekali yang bisa berbahasa inggris, iya apalagi pada saat saya tiba di dini hari pukul 1.30 yang ada hanya staff berbahasa mandarin dan jadilah kami mengunakan handphone dan aplikasi penerjemah yang terinstal di dalamnya lagi.
Info : Di China awareness petugas hotel dan taksi sudah sangat bagus sekali mereka menginstall aplikasi penerjemah yang khusus dibuat oleh developer asal negeri ini (bukan google translate ya) dan mereka gunakan untuk melayani turis bahkan mereka menyediakan satu buah handphone khusus untuk hal ini, dan ini juga berlaku di tempat penjualan souvenir jadi walaupun mungkin kesanya lama tapi mereka ternyata sangat helpful loh.
Jika anda sudah pernah membaca blog saya ini maka saya sudah menceritakan sedikit pengalaman saya ke China dalam beberapa tema seperti kisah di Muslim Street dan Teracotta Warrior jika ada waktu mohon dilihat postingan saya sebelumnya.
Kali ini saya akan lebih berfokus tentang apa yang menarik di kota ini ada beberapa hal yang saya merasakan kesan. Namun kesimpulanya adalah kota ini benar-benar mengesankan dalam perjalanan saya.
Berdasarkan kutipan dari wikipedia Xi’an merupakan sebuah kota kuno tiongkok, yang terletak di Propinsi Shaanxi Sebagai salah satu kota tertua di Tiongkok, Xi’an adalah salah satu dari empat Ibu kota Kuno Tiongkok karena kota ini telah menjadi pusat pemerintahan banyak dinasti-dinasti Tiongkok yang paling berpengaruh, termasuk Zhou, Qin, Han, Sui, dan Tang. Xi’an adalah titik paling timur dari Jalan Sutra dan dikenal sebagai situs bersejarah Prajurit Terakota dari masa Dinasti Qin. Dan memang rata-rata turis yang ke Xi’an tetap mengunjungi Teracota. Kota Xi’an memiliki sejarah lebih dari 3.100 tahun dan dikenal sebagai Chang’an sebelum era Dinasti Ming.
Mengapa saya memilih Xi’an ada beberapa hal sih, pertama karena kebetulan dapat tiket promo nya memang ke Xi’an dan bukan Beijing, kedua saya penasaran banget sama yang namanya Teracota, dan yang ketiga adalah karena di tempat ini tempat syuting nya film yang sangat saya sukai di era 90 an yaitu The Condor Heroes dimana adegan perang nya di setting di salah tembok kota yang dulunya sangat terkenal ini bernama The Xian City Wall.
Tidak seperti kebanyakan turis yang lainya dimana hari pertama di kota ini mereka langsung menuju ke Terracotta Warriors tapi saya lebih memilih eksplorasi kota dulu akhirnya saya mengunjungi salah satu objek wisata dari kota ini yaitu Xian City Wall dengan menaiki stasiun metro yang terletak di sebelah penginapan saya maka saya sampai di tembok tua ini.
Xian City Wall adalah tembok kota lengkap yang bertahan di China setelah The Great Wall yang ada di Beijing, serta menjadi salah satu sistem pertahanan terbesar kuno militer di dunia pada era nya dahulu. Tembok ini berdiri sepanjang 12 meter (40 kaki), 12-14 meter (40-46 kaki) lebar di bagian atas dan 15-18 meter (50-60 kaki) tebal di bagian bawah. Luasnya mencakup 13,7 kilometer (8,5 mil). Setiap 120 meter, ada benteng yang meluas keluar dari dinding utama. Jika dihitung ada 98 benteng, yang dibangun untuk bertahan melawan musuh atau ancaman dari luar yang berniat memanjat ke dinding ini. Walaupun tidak semegah The Great Wall yang ada di Beijing namun tembok ini merupakan salah satu tembok yang menyimpan historis yang sangat luar biasa.
Tembok ini mempunyai empat gerbang dan mereka masing-masing bernama sebagai Chang’ie (berarti sukacita kekal) untuk Pintu Timur, Anding (harmoni kedamaian) di Pintu barat, Yongning (kedamaian abadi) di Pintu selatan dan Anyuan (selamanya harmonis) di Pintu utara. Masing-masing pintu terhubung dengan subway metro sesuai dengan nama masing-masing gerbang. Saya masuk dari gerbang utara yaitu Anyuanmen dan tidak ada alasan khusus kenapa saya melalui rute ini, nah setelah tiba di gerbang utara kita diminta untuk membeli tiket terlebih dahulu lumayan mahal sih 54 Yuan kurang lebih 100 ribuan. Sekedar informasi untuk di China memang biaya untuk masuk ke dalam salah satu tempat wisata tarifnya relatif mahal.
Tiket pun sudah di tangan dan siap untuk menjelajah, karena tempat ini sangat luas ada disediakan rental sepeda dengan self service tarifnya murah saja, untuk single bicycle tarifnya 45 yuan 2 jam sedangkan yang tandem atau lebih dari satu dudukan tarifnya lumayan mahal tapi bisa buat berdua 90 yuan 2jam. Saya lebih memilih jalan kaki saja sih dibandingkan dengan naik sepeda. Saya sangat kagum dengan kekokohan dari bangunan yang sudah ada sejak abad ke ke 6 ini pada masa dinasti Tang dan diperbesar lagi di masa Dinasti Ming di abad 14.
Yang paling saya sukai adalah suasana oriental nya yang begitu terasa ketika kita mengelilingi tembok besar ini dan benteng-benteng pertahanan yang merupakan tempat para pasukan penuh menjaga benteng ini masih sangat kokoh dan yang paling utama adalah bersih. Ada menara kecil di antara menara pengawas dan menara benteng yang mereka sebut sebagai menara para pemanah. Kebetulan beberapa hari yang lalu saya melihat film Great Wall yang diperankan oleh Matt Damon, nah dari film ini saya membayangkan betapa luar biasanya pasukan negeri ini baik sebagai pemanah dan memantau pengawasan agar tidak boleh ada satu pun yang masuk melewati tembok ini.
Dengan diiringi oleh lagu nuansa mandarin yang memang sengaja diputar sebagai backsound dari tempat ini mengingatkan saya akan kisah-kisah aksi dinasti Ming di layar kaca televisi Indonesia di era 90 an. Yang menarik adalah di balik tembok ini di sebelah kanan saya menemukan pemandangan yang kuno berupa rumah asli tradisional Mandarin akan tetapi di sebelah kiri berseliweran mobil dan juga pemandangan kota metropolitan yang dapat dikatakan cukup semrawut sama kayak di Jakarta.
Setelah kurang lebih 1 jam saya mengitari tembok ini kemudian saya pun kembali ke gate awal saya datang untuk melanjutkan perjalanan saya ke Bell Tower, Drum Tower, dan Muslim Street. Untuk Muslim Street mungkin tidak saya ceritakan karena sudah ada cerita sebelumnya. Nah setelah melewati pintu keluar dari City Wall saya berjalan keluar eh tiba-tiba saya menemui sebuah bangunan ala candi rupanya itu adalah kelenteng peribadatan agama buddha, sekedar informasi Xi’an adalah tempat awal berkembangnya agama Buddha di China, di sinilah ada sebuah pagoda awal yang menyerupai pagoda asli agama Buddha di India dari tanah liat. Pagoda kuno India di kota ini dapat dilihat di Dayan Pagoda (Big Wild Goose Pagoda) yang jaraknya lumayan jauh, yaitu sebuah Pagoda awal tempat Biksu Zhang yang ditugaskan oleh Kaisar untuk melintasi Jalur Sutra dan sampai ke India untuk membawa salinan asli bahasa Hindi dari Kitab suci Sang Buddha dan diterjemahkan ke Bahasa Mandarin. Nah kisahnya sang Biksu ini yang dijadikan legenda “Kera Sakti” loh atau menjadi novel “Journey To The West”, menurut penduduk sekitar sebenarnya Biksu Zhang hanya pergi sendiri namun 4 murid yang menjaga sang Biksu merupakan menifestasi dari kepribadian sang biksu sedangkan para siluman yang ingin memakan sang biksu merupakan bentuk perjuangan sang biksu menempuh perjalanan ke barat yang sangat jauh dan penuh tantangan tersebut. Jadi sedikit banyak bentuk pagoda yang ada di Big Wild Goose Pagoda ini merupakan bentuk pagoda yang asli dari tanah liat yang merupakan kebudayaan India atau Nepal gitu, namun sayangnya ketika saya mengunjungi Pagoda ini sedang dalam renovasi sehingga ya agak kurang bagus difoto namun beberapa foto menarik akan saya tampilkan di sini. Yang saya pelajari adalah bahwa bentuk pagoda yang saat ini juga banyak di Indonesia merupakan bentuk akulturasi dengan Budaya China itu sendiri sehingga banyak ornamen Naga atau warna-warna seperti Merah, kuning, hijau, dan lainya. Hmm pelajaran yang sangat menarik.
Melalui pandangan mata Bell Tower tidak jauh terlihat sehinga saya pun berpikir sebaiknya untuk menuju ke sana dengan jalan kaki, alternatif lain selain jalan kaki adalah melalui Metro yang mana hanya berbeda satu stasiun. Namun saya melihat ada keanehan kenapa beberapa orang jalan dari tangga menuju ke bawah saya pun penasaran dan saya ikuti, akhirnya saya menemukan sebuah underground yang memang dikhususkan untuk pejalan kaki namun kondisi di bawah crowded banget kebetulan hari sudah siang jadi banyak warga kota yang pergi istirahat siang. Jika anda berniat ingin masuk ke dalam Bell Tower pintu masuknya ternyata ada di seputaran underground ini.
Setelah sampai di ujung underground yang ada tulisanya Bell Tower saya pun bergegas menaiki tangga menuju ke atas dan tampak lah Bell Tower yang memang sangat indah sekali terlihat. The Bell Tower (Zhong Lou), adalah bangunan tradisional megah, yang menandai pusat geografis ibukota kuno ini. Menara kayu yang merupakan menara terbesar dan terbaik ini mempunyai tinggi 36 meter (118 kaki). Bangunan ini berdiri di atas dasar batu bata 35,5 meter (116,4 kaki) panjang dan 8,6 meter (28,2 kaki) di setiap sisi. Bangunan ini Selama Dinasti Ming, menjadikan simbol kota Xi’an sebagai kota militer penting di wilayah China Barat Laut, sebuah fakta yang tercermin dalam ukurannya. Menara ini dibangun pada tahun 1384 oleh Kaisar Zhu Yuanzhang dengan fungsi yang sangat sederhana yaitu sebagai cara untuk menyebarkan informasi kepada warga apabila ada peringatan dini dari serangan di luar tembok yang informasi tersebut didapat dari menara pengawas di City Wall, bagaimanakah caranya memberitahukan warga ya dengan membunyikan lonceng besar yang terdapat di Bell Tower ini, yang membuat namanya menjadi Bell Tower. Arsitekturnya sangat khas dengan arsitektur dinasti Ming yang sangat extraordinary ini.
Selepas puas memandang Bell Tower saya melanjutkan perjalanan jalan kaki kurang lebih 750 M berjalan arah utara dari Bell Tower di sana ada satu lagi Tower yang hampir mirip dengan Bell Tower namanya adalah Drum Tower. Keduanya sering disebut “sister tower” yang mana memang agak sulit dibedakan mana Bell Tower dan mana Drum Tower. Drum Tower difungsikan sebagai tempat menabuh drum pertanda waktu jadi pada masa dinasti Ming jika ada perhelatan besar yang melibatkan seluruh warga kota maka akan dilaksanakan di sekitaran tempat ini dan pastinya suara drum akan mengiringi acara tersebut. Bangunan ini merupakan panel struktur bertingkat dua, dengan tinggi 34 meter (sekitar 112 kaki) dan 52,6 meter (sekitar 172 kaki) dari timur ke barat serta 38 meter (sekitar 124 kaki) lebar dari utara ke selatan. Gaya arsitektur menara Drum ini adalah kombinasi dari gaya Dinasti Tang dan Dinasti Qing. Tepat di belakang Drum Tower ini adalah Muslim Quarter.
Tidak puas memandang di siang hari berdasarkan informasi dari Instagram kalau melihat Bell Tower dan Drum Tower juga harus di malam hari. Menjelang pukul 9 malam saya bergegas untuk melihat menara ini, dan benar sekali ternyata jauh lebih indah dan turis yang berkumpul juga sangat banyak sekali. Khas warna lampion dan perpanduan warna nya menyebabkan keindahan yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Di dekat Bell Tower dan juga Drum Tower banyak terdapat tempat menjual souvenir yang pastinya harganya lumayan miring/murah jadi pastikan kalian mampir jika datang ke menara ini.
Perpaduan pelangi bukan juga merupakan kata-kata yang tepat mendeskripsikan keindahan malam itu dengan latar belakang Bell Tower dan Drum Tower di malam ini menjadikan perjalanan saya ke Xi’an adalah perjalana yang sangat indah. Dan dengan selesainya pemandangan indah ini maka selesai perjalanan saya di Xi’an di kota kuno oriental yang sangat menarik untuk dikunjungi jika Anda ingin mencari sebuah alternatif kota di China selain kota besar seperti Beijing, Hongkong, dan Shanghai.
Ferdi Cullen